Sekretaris Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Guru Besar FIA Universitas Indonesia yakni Bapak Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ISEI 2024 dengan tema “Memperkuat Fondasi Transformasi Ekonomi dan Kebijakan Publik yang Inklusif dan Berkelanjutan” dimana memberikan gambaran dari akademisi mengenai reformasi birokrasi yang bertujuan mendukung transformasi ekonomi.
Ketidakcukupan governansi yang capable dan akuntabel membuat banyak kegagalan dalam kebijakan pembangunan. Banyak ekonom memandang bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai fokus utama, namun tanpa transformasi tata kelola pemerintahan yang baik maka target-target yang dibuat menjadi tidak mudah untuk dicapai.
Maka dari itu diperlukan pergeseran paradigma untuk memberikan fokus pada reformasi birokrasi untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam perjalanannya, Indonesia mengalami tujuh masalah dasar governansi dan institusi dalam pembangunan, yakni:
- Masih minimnya collaborative governance,
- Less performance based pada perencanaan pembangunan,
- Belum adanya sinergi kebijakan antara pusat serta daerah,
- Kapabilitas birokrasi yang lemah,
- Tingginya budaya korupsi, (6) kebijakan publik yang tidak didorong oleh data serta ilmu pengetahuan, dan
- Organisasi pemerintah yang besar tetapi tidak berbasis outcome.
Terdapat 3 gap yang dialami oleh birokrasi pemerintah saat ini yakni perencanaan yang belum komprehensif antar kementerian/lembaga serta pusat dan daerah, pelaksanaan program yang tidak didorong kapabilitas serta koordinasi dan lemahnya monitoring evaluasi (monev) hal ini terbukti dari 81 indikator RKP tahun 2023, sebesar 52 persen (43 indikator) tidak dapat disimpulkan bahkan tidak tercapai.
Permasalahan yang sering timbul juga adalah output dari program yang tidak jelas dan pengukuran kinerja yang tidak jelas bahkan beberapa berjalan tidak efektif dan efisien karena tidak adanya keterkaitan program dengan sasaran serta tidak sesuainya rincian kegiatan dengan maksud kegiatan. Hal ini masih menjadi awal tantangan, bahkan apabila dilihat lebih dalam terdapat permasalahan lain dari birokrat yakni integritas dari beberapa instansi, berdasarkan survei penilaian integritas (2022) sebesar 99 persen menyalahgunakan fasilitas kantor, 100 persen instansi melakukan korupsi dalam pengadaan baran serta jasa, masih terjadinya praktik korupsi dalam promosi atau mutase SDM sebesar 99 persen, adanya suap dan gratifikasi sebesar 98 persen dan adanya trading influence sebesar 99 persen dari berbagai instansi di tanah air. Maka tidak heran apabila berdasarkan statistik terjadi peningkatan penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana tertinggi berasal dari pilar eksekutif.
Reformasi birokrasi yang terjadi di Indonesia juma masih lemah dimana dari 508 kab/kota yang dievaluasi hanya sebesar 53,15 persen yang memiliki predikat baik dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali.
Maka dari itu, hanya Birokrasi Digital yang memungkinkan percepatan reformasi birokrasi di Indonesia dengan melakukan 9 program:
- Transformasi organisasi berbasis kinerja dan agile,
- Transformasi jabatan fungsional,
- Transformasi squad model,
- Tansformasi SPBE dan SuperApps,
- Strategic talent management dan mobility SDM,
- Collaborative working berbasis kinerja,
- Pelayanan publik dalam genggaman,
- Sistem pengawasan antikorupsi dan manajemen risiko pembangunan nasional, dan
- Kebijakan publik berbasis AI dan big data.
Berbagai strategi transformasi ekonomi dapat dicapai dengan percepatan reformasi birokrasi yang salah satunya mendorong digital platform governance untuk mencegah moral hazard dan potensi kebocoran sembari memberikan kepastian bagi investor.