Breaking News! ISEI Ajak Akademisi Mempersiapkan Era Big Data
Berita ISEI

ISEI Ingatkan Masyarakat untuk Bersiap Hadapi Turbulensi Ekonomi Akibat Kebijakan Trump

10 April 2025

Diskusi dengan tema “AT THE CROSS FIRE OF TRUMP TARIFF POLICY” secara khusus membahas lima aspek utama, yaitu pangan-pertanian, perikanan, energi, ketenagakerjaan, dan iklim usaha. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 380 peserta online dan 15 peserta offline, menghadirkan Prof. Bayu Krisnamurthi selaku Ketua Bidang IV PP ISEI, serta Solikin M. Juhro selaku Sekretaris Umum PP ISEI yang memberikan sambutan pembuka. Diskusi ini turut menghadirkan para discussant yang kompeten di bidangnya, yaitu Prof. Bustanul Arifin (Ketua Focus Group Pertanian dan Kehutanan ISEI), Dr. Widhyawan Prawiraatmadja (Ketua Focus Group Energi dan Sumber Daya Mineral ISEI), Dr. Nimmi Zulbainarni (Ketua Focus Group Kelautan dan Perikanan ISEI), Dr. Ninasapti Triaswati (Ketua Focus Group Ketenagakerjaan, Kemiskinan, dan Layanan Publik ISEI), serta Dr. Eugenia Mardanugraha (Wakil Ketua Focus Group Perindustrian dan Persaingan Dunia Usaha ISEI). 

ISEI memandang bahwa tantangan global saat ini telah bergeser dari situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) menuju TUNA, yaitu Turbulence, Uncertainty, Novelty, dan Ambiguity. TUNA dinilai mencerminkan tingkat ketidakpastian dan dinamika yang lebih tinggi dibandingkan VUCA, dengan karakter disrupsi yang lebih mendalam dan sulit diprediksi.

Pergeseran ini menunjukkan adanya disrupsi dalam tatanan perdagangan internasional, yang pada akhirnya berdampak terhadap strategi ekonomi nasional. Dalam diskusi, disimpulkan bahwa setidaknya terdapat tiga sektor yakni pangan-pertanian, perikanan, dan energi yang tidak terlalu terdampak langsung oleh kebijakan tarif Trump USA. Hal ini didasarkan pada data bahwa ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya mencakup sekitar 26 miliar USD atau sekitar 10% dari total ekspor Indonesia ke pasar global. Adapun sektor-sektor ini menyumbang sekitar 10% dari total ekspor nasional, sehingga kontribusinya ke pasar Amerika relatif terbatas. Meskipun dinilai tidak terlalu terdampak secara langsung, ketiga sektor tersebut tetap perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat karakteristiknya sebagai sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Dampak awal dari kebijakan tarif Trump USA ini pun mulai terasa, salah satunya ditunjukkan melalui hambatan ekspor udang dan gurita dari Kendari yang disampaikan oleh salah satu peserta diskusi.

Sebagai respons, forum menyepakati bahwa negosiasi menjadi langkah awal yang lebih bijak ketimbang retaliasi. Untuk memperkuat posisi dalam proses negosiasi, diskusi mengusulkan dua strategi utama. Pertama, Indonesia dapat mengimpor lebih banyak gas dari Amerika Serikat. Selain memang dibutuhkan, impor gas dinilai tidak akan berdampak langsung pada sektor ekonomi kerakyatan seperti pertanian dan perikanan, serta memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan sebagai daya tawar. Kedua, penting untuk memperhitungkan nilai impor jasa dari Amerika Serikat seperti layanan Netflix, WhatsApp, dan Google yang selama ini belum tercermin secara eksplisit dalam neraca perdagangan barang, namun memiliki kontribusi nyata dalam hubungan ekonomi kedua negara.

Diskusi juga menyoroti pentingnya mengantisipasi dampak jangka panjang dari kebijakan tarif ini. Setidaknya terdapat dua isu strategis yang perlu diwaspadai. Pertama, munculnya kondisi international trade without order, yakni kondisi di mana perdagangan internasional berlangsung tanpa kerangka aturan yang jelas, konsisten, dan saling dipercaya oleh negara-negara yang terlibat. Kedua, masa depan energi terbarukan (renewable energy) yang berpotensi terganggu apabila ketidakpastian perdagangan menghambat investasi, transfer teknologi, dan kerja sama internasional. Perubahan lanskap global yang terjadi saat ini mencerminkan melemahnya tatanan perdagangan internasional yang selama ini berbasis pada kerja sama dan aturan kolektif. Salah satunya adalah pergeseran dari pendekatan multilateral ke arah bilateral, di mana negara-negara kini lebih memilih menjalin kesepakatan dagang satu lawan satu, yang dinilai lebih cepat dan fleksibel, namun sering kali tidak menjamin prinsip keadilan dan kesetaraan bagi semua pihak. Selain itu, praktik friend-shoring yang merujuk pada upaya memusatkan rantai pasok di negara-negara mitra yang dianggap stabil secara geopolitik kini mulai mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya ketidakpastian dalam situasi politik global. Kondisi ini perlahan menciptakan bentuk ketergantungan baru yang tidak kalah rentan terhadap gangguan maupun tekanan eksternal. Di saat yang sama, sistem perdagangan dunia yang sebelumnya berbasis aturan bersama (global rules-based) mulai tergeser oleh pendekatan unilateral rules-based, di mana negara-negara kuat menetapkan dan menerapkan aturan sepihak tanpa mempertimbangkan kesepakatan internasional. Pergeseran ini tidak hanya memperbesar potensi konflik dan ketegangan dagang, tetapi juga mengikis kepercayaan antarnegara, serta melemahkan fungsi lembaga multilateral yang seharusnya menjaga stabilitas dan keteraturan dalam perdagangan global.

Download Materi Diskusi:

ISEI OPEN DISCUSSION “AT THE CROSS FIRE OF TRUMP TARIFF POLICY”

Strategi Indonesia HADAPI TARIF RESIPROKAL AMERIKA SERIKAT

US Import Tariff Policy & the Energy Sector

Silakan download sertifikat disini: bit.ly/E-CertificateISEIOD1